SKL SASTRA MELAYU KLASIK - HIKAYAT
Cermati kutipan hikayat berikut!
Sebutkan isi cerita, nilai moral, dan hal yang
mustahil dalam kutipan berikut!
1.
1)
Sebelum raja Hindustan itu sediakala pekerjaannya pergi berburu juga. 2) Maka
pada suatu hari raja Hindustan itu sedang berburu, lalu bertemu dua ekor ular.
3) Adapun ular yang betina itu terlalu baik rupanya; maka yang jantan sangat
jahat rupanya. 4) Maka pada hati baginda, “Bukan juga jodohnya ular itu, karena
yang jantan itu amat jahat rupanya dan yang betina itu elok rupanya.” 5) Maka
lalu dihunusnya pedangnya, lalu diparangkan kepada ular jantan itu. 6) Maka
ular jantan pun matilah. Maka ular betina itu pun putus ekornya sedikit.
Sumber: Hikayat Bayan Budiman
2.
Maka
adapun saudaranya seibu-sebapa itu, empat orang laki-laki, semuanya itu
abangku, maka aku inilah yang bungsu. Adapun abang-abangku yang tersebut itu
semuanya mati tatkala lagi kecil, ada yang mati umur enam bulan, ada umur
setahun, ada yang dua tahun, ada y ang tiga tahun. Demikianlah halnya sehingga
bunda pun seperti laku orang gila sebab mati anak-anaknya itu. Maka senantiasa
duduk menangis dan dukacita juga. Maka beberapa lamanya dalam hal yang
demikian, datanglah seorang orang Arab, Sayyid yang bernama Habib Abdullah, bangsa
Hadad. Maka adalah ia itu mulia.
Maka sangat
dipermuliakan orang akan dia dalam Malaka; maka segala laki-laki dan perempuan
pergilah berguru kepadanya dari hal-hal perkara agama Islam. Maka bundaku juga
yang tiada pergi senantiasa duduk menagis sebab terkenankan anak-anaknya yang
mati itu. Maka sehari-hari ia mendengar bundaku menangis: maka disuruhnya
panggil bundaku, diperiksakannya akan bundaku itu duduk menangis-nangis.
Maka oleh bapaku
diceritakannyalah segala hal anak-anaknya habis mati itu. Maka kata tuan itu,
“Baiklah engkau katakana kepada istrimu, janganlah ia menangis, insya Allah
nanti diberi Allah kepadanya seorang anak laki-laki. Maka apabila beranak kelak
engkau namakan dengan namaku.”
Sumber: Hikayat Abdullah
3.
Di antara berbagai-bagai jenis
binatang yang di bawah perintah raja singa itu ada dua ekor serigala yang amat
bijaksana, seekor bernama Kalilah dan yang seekor lagi Dimnah. Karena melihat
raja tiada pernah keluar-keluar lagi, maka pada suatu hari berkatalah Dimnah
kepada Kalilah, “Hai saudaraku, tahukah engkau apa sebabnya, maka raja kita
kelihatan berduka cita tidak keluar-keluar dari temapt seperti sehari-hari?”
“Apa gunanya engkau
tanyakan hal itu?” jawab Kalilah. “Kita hamba rakyat wajib atas kita berusaha
menyenangkan hati raja, dan menjauhkan segala yang akan menyusahkan kepadanya.
Bukan kita orangnya yang patut mencampuri hal raja dan memperkatakannya. Sebab
itu, janganlah engkau menanyakan hal itu juga. Ketahuilah, orang senang
mencampuri urusan yang bukan urusannya sendiri, serupa halnya dengan kera yang
mencampuri pekerjaan tukang kayu.”
Sumber: Hikayat Kalilah dan Dimnah
4.
Lalu aku duduk beristirahat dan
tertidur dan ketika aku bangun, kulihat seorang gadis berkulit hitam, bersama
kedua anjing ini, duduk di kakiku, mengusap-usapnya.
Setelah duduk, aku bertanya, “Wahai
kawan, siapakah engkau?”
Gadis itu menjawab,
“Betapa cepatnya engkau melupakanku. Aku adalah orang yang telah engkau tolong
berutang budi padamu. Aku adalah ular
yang sedang putus asa hingga mendorongmu, dengan bantuan Tuhan Yang
Mahabesar, untuk membunuh musuhku. Dengan maksud membalas kebaikanmu, aku
bergegas mengejar kapal itu dan mengembalikan ke rumahmu segala milikmu. Lalu,
aku memerintahkan para pengikutku untuk menenggelamkan kapal itu sebab aku tahu
bagaimana engkau berbaik hati terhadap kedua kakakmu sepanjang hidupmu dan
bagaimana mereka memperlakukanmu, bagaimana mereka karena iri akan pemuda itu,
melemparkan kalian berdua ke laut dan mengakibatkannya tenggelam. Inilah mereka,
dan aku bersumpah demi Pencipta Langit bahwa jika engkau tidak mematuhi
perintahku, aku akan mengambilmu dan memenjarakanmu di bawah tanah.”
Sumber: Husain Haddawy, Kisah Seribu
Satu Malam
5.
Konon
salah seorang raja India bernama Baridun memiliki seekor burung bernama Fanjah
yang telah menetaskan piyik. Burung Fanjah dan anaknya bisa berbicara dengan
fasih sehingga membuat kagum sang raja. Sang raja memerintahkan supaya kedua
ekor burung tersebut dipelihara di dekat istrinya dan memerintahnya supaya dia
bisa menjaga mereka dengan baik. Secara kebetulan istri raja melahirkan seorang
putra. Kelahiran putra raja ini juga sangat menyenangkan anak burung Fanjah
sehingga anak burung Fanjah sangat menyayanginya. Mereka sama-sama dalam usia
kanak-kanak sehingga bisa main bersama-sama. Setiap hari burung Fanjah pergi ke
gunung dan pulang dengan membawa buah-buahan segar yang tidak dikenal. Separo
dia berikan kepada putra sang raja dan separo sisanya dia berikan kepada
anaknya. Dengan demikian, perkembangan kedua makhluk kecil ini begitu cepat
sehingga kelihatan lebih matang.
Sumber: Baidaba, Hikayat Kalilah dan
Dimnah, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004
6.
Aku
khawatir bila mereka aku lepaskan di daerah yang banyak manusia, mereka akan
diburu lagi oleh manusia dan tidak mampu terbang jauh, karena lapar dan kurus.
Aku juga tidak menjamin mereka bisa aman dari malapetaka yang lain. Akhirnya,
aku pergi membawa sepasang burung hudhud ke tempat yang banyak tumbuh
pepohonan, ada tempat untuk mencari mekanan, dan jauh dari jangkauan manusia
dan keramaian. Mereka aku lepaskan, kemudian terbang dan hinggap di pohon yang
berbuah.
Ketika hinggap di
atas pohon, mereka berterima kasih kepadaku. Aku mendengar dari salah satunya
mengatakan kepada yang lain. Sungguh si pelancong ini telah menyelamatkan kita
dari malapetaka yang pernah kita alami. Dia telah menyelamatkan kita dari
kematian. Sungguh kita patut memberi balasan kepadanya atas perbuatan baiknya.
Sesungguhnya di pangkal pohon ini ada sekantong uang dinar. Apakah tidak lebih
baik kita tunjukkan kepadanya supaya dia ambil?
Sumber: Baidaba,
“Putra Raja dan Sahabat-sahabatnya” dalam Hikayat Kalilah & Dimnah:
Fabel-Fabel Alegoris, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004
7.
“Jadi
Alung akan meninggalkan Adik Inam di sini sendiri menghadapi Jelantang Api?”
“Bukan begitu, Adik
Inam,” Panglima Dalung mencoba menjelaskan rencananya dengan lebih rinci.
“Akan kami jadikan
umpan, supaya Jelantang Api menyusul ke Galangan.”
Gadis Cik Inam
semakin bingung mendengarkan rencana Panglima Dalung.
“Aku akan dijadikan
umpan?” Gadis Cik Inam hampir-hampir pingsan karena ketakutan.
“Jangan kuatir,”
Panglima Dalung berusaha menenangkan. “Dengar dulu. Engkau akan kami masukkan
ke sebuah peti besi. Akan kami beri bekal bertih sebanyak tujuh butir untuk
digunakan selama Adik Inam dalam peti besi itu.”
Tujuh butir bertih
untuk bekal selama dalam peti besi. Gadis Cik Inam semakin bingung. Panglima
Dalung tahu Gadis Cik Inam belum memahami uraiannya, “Kami akan pulang terlebih
dahulu ke Tanah Galangan. Kalau Jelantang Api datang kemari, katakana kepadanya
bahwa kunci peti besi ada di tangan kami. Supaya dapat membukanya, ia harus
mencari kami ke Tanah Galangan. Di sanalah kita akan membuat perhitungan
dengannya.”
Sumber: Sudarno
Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu, Yogyakarta, 2006
8.
Putri
Lindung Bulan memiliki seorang putri semata wayang yang diberinya nama Gadis
Cik Inam. Usia Gadis Cik Inam hanya bertaut hari dengan Panglima Nayan. Panglima
Nayan lebih tua beberapa hari dari Gadis Cik Inam.
Dayang Seri Anum
mengusulkan kepada Putri Lindung Bulan agar Gadis Cik Inam ditunangkan dengan
Panglima Nayan. Kata bersahut, gayung bersambut.
….
Acara pertunangan
pun dilaksanakan sesuai adat istiadat melayu. Kecil bertukar kain lampinan,
kelak setelah keduanya dewasa, akan bertukar cincin bermata nilam. Karena
Panglima Nayan dan Gadis Cik Inam masih sama-sama bayi, maka pertunangan mereka
ditandai dengan pertukaran kain lampinan masing-masing.
….
Menginjak usia
dewasa, Panglima Nayan tidak seperti kebanyakan putra bangsawan lainnya yang
lebih suka tinggal di lingkungan istana dan bergaul dengan sesama pemuda
bangsawan. Palima Nayan suka membaur dengan masyarakat di
perkampungan-perkampungan. Ia banyak bergaul dengan keluarga orang kebanyakan.
Suatu hari ia
bertandang ke rumah peramal yang menjadi ahli nujum Kerajaan Galangan.
“Wahai, Datuk Ahli
Nujum,” sapanya kepada sang Peramal.
“Ya, tuanku,” jawab
Ahli Nujum.
“Sejak kecil aku
ditunangkan dengan sepupuku, Gadis Cik Inam. Apakah perjodohanku ini membawa
keberuntungan?”
Sang peramal tak
menjawab. Diambilnya sebuah mangkuk besar yang terbuat dari tanah liat,
kemudian diisinya dengan air. Lalu, diambilnya dua buah limau pagar.
Sumber: Sudarno
Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu, Yogyakarta, 2006
9.
Dengan berurai air mata, Gadis Cik
Inam menuturkan segala kejadian yang menimpa dirinya, Muda Cik Leman, dan
Anggung Selamat. Mulai dari kedatangan Raja Petukal sampai kedatangan Panglima
Batu dan Jelatang Api hingga tewasnya Muda Cik Leman dan Anggung Selamat.
Surat itu selesai
ditulis. Beberapa butir air mata Gadis Cik Inam jatuh di atas surat, hingga
beberapa patah kata dalam surat menjadi kabur, sulit dibaca.
Gadis Cik Inam
mengeluarkan burung nuri kesayangan Muda Cik Leman dari sangkarnya yang terbuat
dari emas. Burung nuru yang bulunya amat indah itu dibawa Muda Cik Leman dari
Negeri Galangan. Setelah dikeluarkan dari sangkarnya, Gadis Cik Inam memberi
makan burung itu sampai kenyang. Gadis Cik Inam akan mengutus burung itu ke
Negeri Galangan untuk menyampaikan surat yang baru ditulisnya.
“Makanlah engkau
sekenyang-kenyangnya, wahai nuri, ooo burung nuri yang budiman,” Gadis Cik Inam
berbicara seorang diri seraya mengelus-elus kepala burung nuri. “Aku memerlukan
pertolonganmu untuk mengantarkan surat ini kepada saudara-saudara suamiku di
Tanah Galangan. Engkau tahu jalan ke Tanah Galangan karena engkau berasal dari
sana. Antarkanlah surat ini kepada saudara suamiku, Panglima Dalung dan yang
lainnya.”
Setelah burung nuri
selesai makan, Gadis Cik Inam menyerahkan surat itu kepada burung itu.
Seolah-oleh mengerti bahasa manusia, burung nuri mematuk surat itu dengan
paruhnya yang tajam. Kemudian, burung yang berbulu amat indah itu terbang lewat
jendela bilik peraduan Gadis Cik Inam.
Dikutip dari:
Sudarno Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Adicita Karya Nusa,
Yogyakarta, 2006
10. “Akan tetapi, bagaimana caranya
kalian bisa membawaku pergi?” tanya kura-kura.
Mereka menjelaskan
caranya, “Kita cari potongan kayu. Lalu kedua sisi ujungnya akan kami pegang
dengan paruh dan engkau bisa memegangi bagian tengahnya dengan cara
menggigitnya kuat-kuat dengan mulutmu. Setelah itu, kami akan membawamu terbang
bersama di udara. Hanya saja, yang perlu engkau ingat adalah bahwa bila engkau
mendengar omongan orang yang melihatmu, jangan sampai engkau berbicara.”
Kemudian, mereka
melakukan cara itu dan terbang di udara. Ketika orang-orang melihat tontonan
aneh ini, mereka mengatakan, “Aneh sekali, ada kura-kura yang dibawa terbang
dua ekor itik!” Mendengar omongan orang-orang seperti itu, kura-kura tidak
betah menahan dan mencoba menjawab dengan ucapan, “Semoga Allah menjadikan
kalian buta, wahai manusia!” Ketika ia membuka mulutnya untuk berbicara,
otomatis ia terlepas dari pegangan dan jatuh ke bumi. Akhirnya, ia mati.
Sumber: Baidaba,
“Singa dan Sapi Banteng” dalam Hikayat Kalilah & Dimnah: Fabel-Fabel
Alegoris, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004
11. Perkawinan Muda Cik Leman dengan
Gadis Cik Inam dilangsungkan dengan pesta yang sangat meriah. Tujuh hari tujuh
malam lamanya, tamu-tamu dari negeri tetangga berdatangan memenuhi undangan.
Rakyat negeri pun turut berpesta-pora. Aneka makanan dan minuman lezat
dihidangkan. Hiburan berupa tari-tarian, nyanyian, dan musik merdu pun
digelarkan.
Beras berpuluh-puluh
pikul dimasak, seolah-olah tiada cukup untuk menjamu tamu-tamu yang berkunjung
tiada henti-hentinya untuk mengucapkan selamat kepada pengantin. Di samping
itu, banyak di antara mereka yang datang ingin menyaksikan kemolekan sepasang
pengantin yang beritanya bendang ke mana-mana. Tak puas-puasnya mereka melihat
sepasang pengantin yang demikian sepadan. Si lelaki tampan dan gagah, sedangkan
si wanita cantik dan anggun.
Seberapa banyak
beras dimasak, seberapa pula habis. Berapa banyak dihidangkan, semua licin
tandas. Para juru masak bertungkus lumus selama tujuh hari tujuh malam
menyediakan makanan dan minuman untuk tamu-tamu yang jangankan berkurang, kian
hari malah bertambah banyak. Pulang tamu dari negeri satu, datang pada
tamu-tamu dari negeri tetangga yang lain. Begitulah seterusnya. Musik, tari,
dan nyanyi pun selama tujuh hari tujuh malam tiada henti-hentinya digelar untuk
menghibur para tamu. Dapat dikatakan tujuh hari tujuh malam Negeri Muar tidak
tidur. Mereka asyik dalam pesta pora seolah-olah tiada berakhir. Muda Cik Leman
pun larut dalam kegelimangan pesta perkawinannya. Ia lupa sama sekali dengan
ramalan ahli nujum Kerajaan Galangan. Ia pun sudah lupa dengan pesan Panglima
Nayan dan Agung Selamat.
Tiga bulan sesudah
Cik Leman menikah. Raja Selatan menyerahkan tahta Muar kepadanya. Muda Cik
Leman memerintah negeri dengan bijaksana. Baru tiga bulan Muda Cik Leman duduk
di atas singgasana Muar, buah pemerintahannya sudah dapat dirasakan oleh
rakyat. Perdagangan semakin maju, keamanan pun semakin terjamin sehingga rakyat
dapat mencari nafkah dengan tenang. Pertanian rakyat Muar pun maju sehingga
banyak rakyat dari negeri tetangga yang pindah ke Muar sehingga negeri itu
semakin ramai.
Sumber: Sudarno
Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu, Yogyakarta, 2006
0 comments:
Post a Comment