Sunday, May 4, 2014

Soal Sastra Melayu Klasik SMA 2013/2014


SKL SASTRA MELAYU KLASIK - HIKAYAT

Cermati kutipan hikayat berikut!
Sebutkan isi cerita, nilai moral, dan hal yang mustahil dalam kutipan berikut!

1.                1) Sebelum raja Hindustan itu sediakala pekerjaannya pergi berburu juga. 2) Maka pada suatu hari raja Hindustan itu sedang berburu, lalu bertemu dua ekor ular. 3) Adapun ular yang betina itu terlalu baik rupanya; maka yang jantan sangat jahat rupanya. 4) Maka pada hati baginda, “Bukan juga jodohnya ular itu, karena yang jantan itu amat jahat rupanya dan yang betina itu elok rupanya.” 5) Maka lalu dihunusnya pedangnya, lalu diparangkan kepada ular jantan itu. 6) Maka ular jantan pun matilah. Maka ular betina itu pun putus ekornya sedikit.
Sumber: Hikayat Bayan Budiman

2.                Maka adapun saudaranya seibu-sebapa itu, empat orang laki-laki, semuanya itu abangku, maka aku inilah yang bungsu. Adapun abang-abangku yang tersebut itu semuanya mati tatkala lagi kecil, ada yang mati umur enam bulan, ada umur setahun, ada yang dua tahun, ada y ang tiga tahun. Demikianlah halnya sehingga bunda pun seperti laku orang gila sebab mati anak-anaknya itu. Maka senantiasa duduk menangis dan dukacita juga. Maka beberapa lamanya dalam hal yang demikian, datanglah seorang orang Arab, Sayyid yang bernama Habib Abdullah, bangsa Hadad. Maka adalah ia itu mulia.
Maka sangat dipermuliakan orang akan dia dalam Malaka; maka segala laki-laki dan perempuan pergilah berguru kepadanya dari hal-hal perkara agama Islam. Maka bundaku juga yang tiada pergi senantiasa duduk menagis sebab terkenankan anak-anaknya yang mati itu. Maka sehari-hari ia mendengar bundaku menangis: maka disuruhnya panggil bundaku, diperiksakannya akan bundaku itu duduk menangis-nangis.
Maka oleh bapaku diceritakannyalah segala hal anak-anaknya habis mati itu. Maka kata tuan itu, “Baiklah engkau katakana kepada istrimu, janganlah ia menangis, insya Allah nanti diberi Allah kepadanya seorang anak laki-laki. Maka apabila beranak kelak engkau namakan dengan namaku.”
Sumber: Hikayat Abdullah

3.                 Di antara berbagai-bagai jenis binatang yang di bawah perintah raja singa itu ada dua ekor serigala yang amat bijaksana, seekor bernama Kalilah dan yang seekor lagi Dimnah. Karena melihat raja tiada pernah keluar-keluar lagi, maka pada suatu hari berkatalah Dimnah kepada Kalilah, “Hai saudaraku, tahukah engkau apa sebabnya, maka raja kita kelihatan berduka cita tidak keluar-keluar dari temapt seperti sehari-hari?”
“Apa gunanya engkau tanyakan hal itu?” jawab Kalilah. “Kita hamba rakyat wajib atas kita berusaha menyenangkan hati raja, dan menjauhkan segala yang akan menyusahkan kepadanya. Bukan kita orangnya yang patut mencampuri hal raja dan memperkatakannya. Sebab itu, janganlah engkau menanyakan hal itu juga. Ketahuilah, orang senang mencampuri urusan yang bukan urusannya sendiri, serupa halnya dengan kera yang mencampuri pekerjaan tukang kayu.”
Sumber: Hikayat Kalilah dan Dimnah

4.                 Lalu aku duduk beristirahat dan tertidur dan ketika aku bangun, kulihat seorang gadis berkulit hitam, bersama kedua anjing ini, duduk di kakiku, mengusap-usapnya.
Setelah duduk, aku bertanya, “Wahai kawan, siapakah engkau?”
Gadis itu menjawab, “Betapa cepatnya engkau melupakanku. Aku adalah orang yang telah engkau tolong berutang budi padamu. Aku adalah ular  yang sedang putus asa hingga mendorongmu, dengan bantuan Tuhan Yang Mahabesar, untuk membunuh musuhku. Dengan maksud membalas kebaikanmu, aku bergegas mengejar kapal itu dan mengembalikan ke rumahmu segala milikmu. Lalu, aku memerintahkan para pengikutku untuk menenggelamkan kapal itu sebab aku tahu bagaimana engkau berbaik hati terhadap kedua kakakmu sepanjang hidupmu dan bagaimana mereka memperlakukanmu, bagaimana mereka karena iri akan pemuda itu, melemparkan kalian berdua ke laut dan mengakibatkannya tenggelam. Inilah mereka, dan aku bersumpah demi Pencipta Langit bahwa jika engkau tidak mematuhi perintahku, aku akan mengambilmu dan memenjarakanmu di bawah tanah.”
Sumber: Husain Haddawy, Kisah Seribu Satu Malam
5.                Konon salah seorang raja India bernama Baridun memiliki seekor burung bernama Fanjah yang telah menetaskan piyik. Burung Fanjah dan anaknya bisa berbicara dengan fasih sehingga membuat kagum sang raja. Sang raja memerintahkan supaya kedua ekor burung tersebut dipelihara di dekat istrinya dan memerintahnya supaya dia bisa menjaga mereka dengan baik. Secara kebetulan istri raja melahirkan seorang putra. Kelahiran putra raja ini juga sangat menyenangkan anak burung Fanjah sehingga anak burung Fanjah sangat menyayanginya. Mereka sama-sama dalam usia kanak-kanak sehingga bisa main bersama-sama. Setiap hari burung Fanjah pergi ke gunung dan pulang dengan membawa buah-buahan segar yang tidak dikenal. Separo dia berikan kepada putra sang raja dan separo sisanya dia berikan kepada anaknya. Dengan demikian, perkembangan kedua makhluk kecil ini begitu cepat sehingga kelihatan lebih matang.
Sumber: Baidaba, Hikayat Kalilah dan Dimnah, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004

6.                Aku khawatir bila mereka aku lepaskan di daerah yang banyak manusia, mereka akan diburu lagi oleh manusia dan tidak mampu terbang jauh, karena lapar dan kurus. Aku juga tidak menjamin mereka bisa aman dari malapetaka yang lain. Akhirnya, aku pergi membawa sepasang burung hudhud ke tempat yang banyak tumbuh pepohonan, ada tempat untuk mencari mekanan, dan jauh dari jangkauan manusia dan keramaian. Mereka aku lepaskan, kemudian terbang dan hinggap di pohon yang berbuah.
Ketika hinggap di atas pohon, mereka berterima kasih kepadaku. Aku mendengar dari salah satunya mengatakan kepada yang lain. Sungguh si pelancong ini telah menyelamatkan kita dari malapetaka yang pernah kita alami. Dia telah menyelamatkan kita dari kematian. Sungguh kita patut memberi balasan kepadanya atas perbuatan baiknya. Sesungguhnya di pangkal pohon ini ada sekantong uang dinar. Apakah tidak lebih baik kita tunjukkan kepadanya supaya dia ambil?
Sumber: Baidaba, “Putra Raja dan Sahabat-sahabatnya” dalam Hikayat Kalilah & Dimnah: Fabel-Fabel Alegoris, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004

7.                “Jadi Alung akan meninggalkan Adik Inam di sini sendiri menghadapi Jelantang Api?”
“Bukan begitu, Adik Inam,” Panglima Dalung mencoba menjelaskan rencananya dengan lebih rinci.
“Akan kami jadikan umpan, supaya Jelantang Api menyusul ke Galangan.”
Gadis Cik Inam semakin bingung mendengarkan rencana Panglima Dalung.
“Aku akan dijadikan umpan?” Gadis Cik Inam hampir-hampir pingsan karena ketakutan.
“Jangan kuatir,” Panglima Dalung berusaha menenangkan. “Dengar dulu. Engkau akan kami masukkan ke sebuah peti besi. Akan kami beri bekal bertih sebanyak tujuh butir untuk digunakan selama Adik Inam dalam peti besi itu.”
Tujuh butir bertih untuk bekal selama dalam peti besi. Gadis Cik Inam semakin bingung. Panglima Dalung tahu Gadis Cik Inam belum memahami uraiannya, “Kami akan pulang terlebih dahulu ke Tanah Galangan. Kalau Jelantang Api datang kemari, katakana kepadanya bahwa kunci peti besi ada di tangan kami. Supaya dapat membukanya, ia harus mencari kami ke Tanah Galangan. Di sanalah kita akan membuat perhitungan dengannya.”
Sumber: Sudarno Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta, 2006

8.                Putri Lindung Bulan memiliki seorang putri semata wayang yang diberinya nama Gadis Cik Inam. Usia Gadis Cik Inam hanya bertaut hari dengan Panglima Nayan. Panglima Nayan lebih tua beberapa hari dari Gadis Cik Inam.
Dayang Seri Anum mengusulkan kepada Putri Lindung Bulan agar Gadis Cik Inam ditunangkan dengan Panglima Nayan. Kata bersahut, gayung bersambut.
….
Acara pertunangan pun dilaksanakan sesuai adat istiadat melayu. Kecil bertukar kain lampinan, kelak setelah keduanya dewasa, akan bertukar cincin bermata nilam. Karena Panglima Nayan dan Gadis Cik Inam masih sama-sama bayi, maka pertunangan mereka ditandai dengan pertukaran kain lampinan masing-masing.
….


Menginjak usia dewasa, Panglima Nayan tidak seperti kebanyakan putra bangsawan lainnya yang lebih suka tinggal di lingkungan istana dan bergaul dengan sesama pemuda bangsawan. Palima Nayan suka membaur dengan masyarakat di perkampungan-perkampungan. Ia banyak bergaul dengan keluarga orang kebanyakan.
Suatu hari ia bertandang ke rumah peramal yang menjadi ahli nujum Kerajaan Galangan.
“Wahai, Datuk Ahli Nujum,” sapanya kepada sang Peramal.
“Ya, tuanku,” jawab Ahli Nujum.
“Sejak kecil aku ditunangkan dengan sepupuku, Gadis Cik Inam. Apakah perjodohanku ini membawa keberuntungan?”
Sang peramal tak menjawab. Diambilnya sebuah mangkuk besar yang terbuat dari tanah liat, kemudian diisinya dengan air. Lalu, diambilnya dua buah limau pagar.
Sumber: Sudarno Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta, 2006

9.                 Dengan berurai air mata, Gadis Cik Inam menuturkan segala kejadian yang menimpa dirinya, Muda Cik Leman, dan Anggung Selamat. Mulai dari kedatangan Raja Petukal sampai kedatangan Panglima Batu dan Jelatang Api hingga tewasnya Muda Cik Leman dan Anggung Selamat.

Surat itu selesai ditulis. Beberapa butir air mata Gadis Cik Inam jatuh di atas surat, hingga beberapa patah kata dalam surat menjadi kabur, sulit dibaca.

Gadis Cik Inam mengeluarkan burung nuri kesayangan Muda Cik Leman dari sangkarnya yang terbuat dari emas. Burung nuru yang bulunya amat indah itu dibawa Muda Cik Leman dari Negeri Galangan. Setelah dikeluarkan dari sangkarnya, Gadis Cik Inam memberi makan burung itu sampai kenyang. Gadis Cik Inam akan mengutus burung itu ke Negeri Galangan untuk menyampaikan surat yang baru ditulisnya.

“Makanlah engkau sekenyang-kenyangnya, wahai nuri, ooo burung nuri yang budiman,” Gadis Cik Inam berbicara seorang diri seraya mengelus-elus kepala burung nuri. “Aku memerlukan pertolonganmu untuk mengantarkan surat ini kepada saudara-saudara suamiku di Tanah Galangan. Engkau tahu jalan ke Tanah Galangan karena engkau berasal dari sana. Antarkanlah surat ini kepada saudara suamiku, Panglima Dalung dan yang lainnya.”

Setelah burung nuri selesai makan, Gadis Cik Inam menyerahkan surat itu kepada burung itu. Seolah-oleh mengerti bahasa manusia, burung nuri mematuk surat itu dengan paruhnya yang tajam. Kemudian, burung yang berbulu amat indah itu terbang lewat jendela bilik peraduan Gadis Cik Inam.
Dikutip dari: Sudarno Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, 2006

10.             “Akan tetapi, bagaimana caranya kalian bisa membawaku pergi?” tanya kura-kura.
Mereka menjelaskan caranya, “Kita cari potongan kayu. Lalu kedua sisi ujungnya akan kami pegang dengan paruh dan engkau bisa memegangi bagian tengahnya dengan cara menggigitnya kuat-kuat dengan mulutmu. Setelah itu, kami akan membawamu terbang bersama di udara. Hanya saja, yang perlu engkau ingat adalah bahwa bila engkau mendengar omongan orang yang melihatmu, jangan sampai engkau berbicara.”

Kemudian, mereka melakukan cara itu dan terbang di udara. Ketika orang-orang melihat tontonan aneh ini, mereka mengatakan, “Aneh sekali, ada kura-kura yang dibawa terbang dua ekor itik!” Mendengar omongan orang-orang seperti itu, kura-kura tidak betah menahan dan mencoba menjawab dengan ucapan, “Semoga Allah menjadikan kalian buta, wahai manusia!” Ketika ia membuka mulutnya untuk berbicara, otomatis ia terlepas dari pegangan dan jatuh ke bumi. Akhirnya, ia mati.
Sumber: Baidaba, “Singa dan Sapi Banteng” dalam Hikayat Kalilah & Dimnah: Fabel-Fabel Alegoris, Pustaka Hidayah, Bandung, 2004

11.             Perkawinan Muda Cik Leman dengan Gadis Cik Inam dilangsungkan dengan pesta yang sangat meriah. Tujuh hari tujuh malam lamanya, tamu-tamu dari negeri tetangga berdatangan memenuhi undangan. Rakyat negeri pun turut berpesta-pora. Aneka makanan dan minuman lezat dihidangkan. Hiburan berupa tari-tarian, nyanyian, dan musik merdu pun digelarkan.

Beras berpuluh-puluh pikul dimasak, seolah-olah tiada cukup untuk menjamu tamu-tamu yang berkunjung tiada henti-hentinya untuk mengucapkan selamat kepada pengantin. Di samping itu, banyak di antara mereka yang datang ingin menyaksikan kemolekan sepasang pengantin yang beritanya bendang ke mana-mana. Tak puas-puasnya mereka melihat sepasang pengantin yang demikian sepadan. Si lelaki tampan dan gagah, sedangkan si wanita cantik dan anggun.

Seberapa banyak beras dimasak, seberapa pula habis. Berapa banyak dihidangkan, semua licin tandas. Para juru masak bertungkus lumus selama tujuh hari tujuh malam menyediakan makanan dan minuman untuk tamu-tamu yang jangankan berkurang, kian hari malah bertambah banyak. Pulang tamu dari negeri satu, datang pada tamu-tamu dari negeri tetangga yang lain. Begitulah seterusnya. Musik, tari, dan nyanyi pun selama tujuh hari tujuh malam tiada henti-hentinya digelar untuk menghibur para tamu. Dapat dikatakan tujuh hari tujuh malam Negeri Muar tidak tidur. Mereka asyik dalam pesta pora seolah-olah tiada berakhir. Muda Cik Leman pun larut dalam kegelimangan pesta perkawinannya. Ia lupa sama sekali dengan ramalan ahli nujum Kerajaan Galangan. Ia pun sudah lupa dengan pesan Panglima Nayan dan Agung Selamat.

Tiga bulan sesudah Cik Leman menikah. Raja Selatan menyerahkan tahta Muar kepadanya. Muda Cik Leman memerintah negeri dengan bijaksana. Baru tiga bulan Muda Cik Leman duduk di atas singgasana Muar, buah pemerintahannya sudah dapat dirasakan oleh rakyat. Perdagangan semakin maju, keamanan pun semakin terjamin sehingga rakyat dapat mencari nafkah dengan tenang. Pertanian rakyat Muar pun maju sehingga banyak rakyat dari negeri tetangga yang pindah ke Muar sehingga negeri itu semakin ramai.

Sumber: Sudarno Mahyudin, Hikayat Muda Cik Leman, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Yogyakarta, 2006

0 comments:

Post a Comment

◄ Posting Baru Posting Lama ►